Sibadu's Station

Don't forget your ticket...

Wednesday, September 13, 2006

Pesona Kota Teluk - Sulawesi Tengah

Selasa pagi buta aku dan rekan2 sampai di kota Poso, Sulawesi Tengah, sebuah kota dengan luas 1/30-nya kota Jakarta dan kepadatan penduduk 1/60-nya, begitu tenangnya kota ini seolah2 perang agama yang terjadi pada tahun 2000/01 tidak pernah ada, tidak ada kemacetan maupun pusat2 keramaian.


Kota Poso terletak di tepi Teluk Tomini, sempat menyusuri jalan dipinggir kota yang dekat sekali dengan garis pantai, tampak damai dan tenang, seolah alam dan manusia menjadi satu bergerak seiring putaran waktu. Walau disambut oleh ikan Kerapu Sunu merah yang mengundang selera sayang saya tidak sempat merasakan pasir putih dan kejernihan pantainya.

Bergerak kearah Selatan sejajar dengan hamparan Sungai Poso yang luas, kembali guide kami memacu Avanza hitam, melalui jalan trans Sulawesi yang berkelok menanjak bagai ekor naga. Setelah 1.5 jam tibalah kami di wilayah bekas pengungsian warga Kristen Poso, kota Tentena.



Tentena, sebuah kota kecil yang berada di tepi Danau Poso, di ketinggian 500 m dari permukaan laut dan luas sekitar 500 km. Beruntung sekali kami bisa menikmati Danau Poso dari atas bongkahan batu-batu karang besar yang berada di salah satu tepinya, sempat melambaikan tangan pada warga lokal yang sedang berburu ikan dengan menyelam di sekitar karang.
Air danau yang deras dan hembusan angin kencang membuat kami melupakan sejenak polarisasi psikis pada keramaian peradaban, rasanya ingin segera tampil polos tanpa sehelai benang ditubuh untuk meloncat masuk kedalam danau, dengan tawa puas menyeringai, bersendagurau dengan ikan sidat, udang windu dan seluruh penghuni danau nan asri, sambil menatap damai patung Yesus putih yang tersalib agak ringkih di tepi tebing hutan rimbun. Sayang stigma lamunan-ku tidak bisa terwujud, kami harus kembali ke kota Poso sore itu.


Hari berikutnya perjalanan dilakukan dengan berjalan selama 1-jam menaiki menuju ke salah satu tepi sungai Poso, sesampainya disana kami disambut oleh jembatan gantung yang setiap langkah membuatnya bergoyang, tapi cukup kuat untuk di lewati sapi-sapi para pekerja kebun lokal. Arus Sungai yang cukup deras siang itu menjadi penyejuk saat aku mulai merendam kaki sebatas betis sambil bersantai disebuah karang, serasa pijatan lembut tangan mungil seorang dewi surga menyentuh kaki lelah ku seolah enggan tuk dilepaskan, buaiannya terasa sampai ke ujung kepala, membuat ku agak terlelap walau akhirnya harus berjalan kembali menyusuri jalan setapak yg tadi kami lewati.


Di tepi lain Sungai Poso kami menemukan aliran deras arung jeram yang tampak menantang nyali para petualang, sebuah sapaan riuh dari alam yang seolah ingin membusungkan dadanya dihadapan makhluk lain. Gigiku bergemertak didalam senyuman melihat perilaku sungai deras yang bahkan sampai saat ini belum ada seorang-pun yang berani menunggangi gejolak arusnya diantara batuan cadas nan tajam.

Kembali ke Kota Poso, diiringi cerita dari guide kami saat kerusuhan terjadi tahun 2000/01, tirai kekerasan disibakkan dihadapan kami dengan bekas-bekas bangunan terbakar yang menyeruak diantara pembangunan kota di sepanjang tepi jalan, tiang2 gosong di tanah lapang menjadi saksi bisu kebiadaban moral manusia pada saat itu.

Spanduk dan slogan-slogan perdamaian banyak terpampang diseluruh sudut kota, seolah hendak meyakinkan kepada seluruh dunia bahwa kota ini telah damai. Yang membuat-ku tertegun sejenak ialah banyaknya aparat polisi dan tentara yang ada di kota ini, sekelebat motor polisi selalu tampak melewati kami, kumpulan seragam hijau maupun coklat tampak bersandar bersama di beberapa tempat, hal ini tentunya membuat-ku bertanya-tanya, se-aman apakah kota ini sehingga begitu banyak aparat yg menjaganya ?.... , aktivitas keramaian yang minim, pembangunan yang terkesan hendak menutupi bekas-bekas kerusuhan, dan boomingnya tentara dengan adanya yonif dan juga polisi yang bagai jamur merang di musim hujan, tanpa disadari bagi-ku kota ini tidak lebih dari sebuah penjara.

May Peace Prevail On Whole Earth